Jumat, 17 Juni 2022

Setetes Embun di Padang Gersang

 

    

Foto: Koleksi Pribadi

Setetes Embun di Padang Gersang

@Cermin

Oleh: Khatijah

Ada perasaan ngeri saat naik lift seorang diri. Selain tidak biasa, aku takut jika bertemu seseorang yang tidak kukenal di dalamnya. Yang kutakutkan dia bukan orang baik-baik. Seperti pagi ini, aku ragu melangkahkan kaki ke dalam ruangan kecil itu. Namun terdorong rasa sakit karena habis operasi, aku masuk saja. Maklum untuk naik ke lantai tiga melalui tangga biasa rasanya aku tidak sanggup.

Kali ini aku harus kontrol setelah seminggu diizinkan pulang dari rumah sakit. Ternyata ketakutanku bertemu penjahat di ruang lift tidak terbukti. Aku justru bertemu seorang laki-laki gagah memakai jas warna putih layaknya baju yang dipakai oleh para dokter. Usianya mungkin kurang dari  tiga puluh lima tahun. Dialah dokter yang telah mengoperasiku seminggu yang lalu karena hernia. Melihatku yang sudah berumur dan sendirian ini, tampak dia sangat berempati. Dituntunnya tanganku ketika kami bersama-sama keluar dari lift.

Lebih dari satu jam, aku menunggu antrean di ruang tunggu. Pikiranku tenggelam di antara puluhan orang yang memiliki kepentingan yang sama denganku. Aku memilih diam. Ada perasaan iri saat menyaksikan orang-orang di sekitarku diantar oleh keluarganya. Hatiku terenyuh dan sedih. Jadi teringat bencana banjir yang telah memisahkan aku dan istriku yang saat itu hamil besar. Terbayang saat tangannya melambai-lambai meminta pertolongan. Namun, aku kalah cepat dengan derasnya air bah yang menyeretnya. Sampai saat ini, aku tidak berhenti mengutuki diriku sendiri karena tidak mampu untuk menolongnya.

“Pak Hamdi,” panggil seorang wanita muda yang bertugas di depan ruang periksa, membuat pikiranku terbangun dari lamunan.  

Dengan terhuyung, aku mencoba melangkah mendekat ke arah meja petugas yang memanggilku. Setelah kuserahkan kartu pemeriksaan, aku diantar masuk oleh petugas itu untuk menemui dokter bedah yang akan membuka perban yang menutup luka bekas operasiku. Begitu ramahnya dia. Sambil melepas benang jahitan di perutku bagian bawah, dia terus menanyaiku diselingi candaan ringan.

“Sudah, Pak. Lukanya sudah kering. Pak Hamdi tinggal menjaga agar tidak infeksi dan cepat sembuh luka bagian dalam. Bapak tahu caranya? Mudah kok Pak. Bapak harus minum obatnya dan makan makanan bergizi,” katanya. 

Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih.Tiba-tiba piluku tersayat kembali saat dia menanyakan keluargaku. Dengan ragu-ragu kuceritakan keadaanku yang sebenarnya bahwa aku telah kehilangan istri dan anak yang dikandungnya ketika banjir bandang menerjang desa kami.

“Bapak dari desa Kemuning?” tanyanya bernada kaget.

“Betul, Dok,” jawabku sambil berusaha menyembunyikan sedih yang menguasai emosiku.

Dokter itu meminta KTP-ku. Setelah kuserahkan, dibacanya lama sekali. Lalu dia membuka computer yang berada di pojok  ruangan itu, entah apa yang dilakukan, aku tidak paham. Aku hanya melihatnya mondar-mandir sambil menelepon seseorang. Rona wajahnya pun terlhat berubah. Entahlah, apa yang sedang berkecamuk di pikirannya.

“Bapak tidak usah sedih, karena anak Bapak tidak ikut meninggal dalam peristiwa banjir berpuluh tahun yang lalu. Istri Bapak ditemukan menghembuskan nafas terakhirnya beberapa menit setelah melahirkan. Lalu bayinya ditolong dan dirawat oleh seorang dokter dan bayi itu sekarang sudah dewasa. Sayalah bayi yang selamat dari maut itu, Pak,” ucap dokter tampan yang usianya tidak lebih dari tiga puluh lima tahun itu seraya memelukku erat-erat.   

 

Bondowoso, 17 Juni 2022

 

 

2 komentar:

  1. Bahagianya bertemu dengan ayah yg sudah puluhan tahun berpisah. Sukses sll Bund cantik👍👍👍🥰

    BalasHapus

Tembang di Kaki Bukit Part 102

  Foto: Koleksi Pribadi Tembang di Kaki Bukit Part 102                                                                 Oleh: Khatijah ...