Foto: Koleksi Pribadi
Setetes Embun di Padang Gersang
@Cermin
Oleh:
Khatijah
Ada
perasaan ngeri saat naik lift seorang diri. Selain tidak biasa, aku takut jika
bertemu seseorang yang tidak kukenal di dalamnya. Yang kutakutkan dia bukan
orang baik-baik. Seperti pagi ini, aku ragu melangkahkan kaki ke dalam ruangan
kecil itu. Namun terdorong rasa sakit karena habis operasi, aku masuk saja.
Maklum untuk naik ke lantai tiga melalui tangga biasa rasanya aku tidak
sanggup.
Kali
ini aku harus kontrol setelah seminggu diizinkan pulang dari rumah sakit.
Ternyata ketakutanku bertemu penjahat di ruang lift tidak terbukti. Aku justru
bertemu seorang laki-laki gagah memakai jas warna putih layaknya baju yang
dipakai oleh para dokter. Usianya mungkin kurang dari tiga puluh lima tahun. Dialah dokter yang
telah mengoperasiku seminggu yang lalu karena hernia. Melihatku yang sudah
berumur dan sendirian ini, tampak dia sangat berempati. Dituntunnya tanganku
ketika kami bersama-sama keluar dari lift.
Lebih
dari satu jam, aku menunggu antrean di ruang tunggu. Pikiranku tenggelam di
antara puluhan orang yang memiliki kepentingan yang sama denganku. Aku memilih
diam. Ada perasaan iri saat menyaksikan orang-orang di sekitarku diantar oleh
keluarganya. Hatiku terenyuh dan sedih. Jadi teringat bencana banjir yang telah
memisahkan aku dan istriku yang saat itu hamil besar. Terbayang saat tangannya melambai-lambai
meminta pertolongan. Namun, aku kalah cepat dengan derasnya air bah yang
menyeretnya. Sampai saat ini, aku tidak berhenti mengutuki diriku sendiri
karena tidak mampu untuk menolongnya.
“Pak
Hamdi,” panggil seorang wanita muda yang bertugas di depan ruang periksa,
membuat pikiranku terbangun dari lamunan.
Dengan
terhuyung, aku mencoba melangkah mendekat ke arah meja petugas yang
memanggilku. Setelah kuserahkan kartu pemeriksaan, aku diantar masuk oleh
petugas itu untuk menemui dokter bedah yang akan membuka perban yang menutup
luka bekas operasiku. Begitu ramahnya dia. Sambil melepas benang jahitan di
perutku bagian bawah, dia terus menanyaiku diselingi candaan ringan.
“Sudah, Pak. Lukanya sudah kering. Pak Hamdi tinggal menjaga agar tidak infeksi dan cepat sembuh luka bagian dalam. Bapak tahu caranya? Mudah kok Pak. Bapak harus minum obatnya dan makan makanan bergizi,” katanya.
Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih.Tiba-tiba piluku tersayat kembali saat dia menanyakan keluargaku. Dengan ragu-ragu kuceritakan keadaanku yang sebenarnya bahwa aku telah kehilangan istri dan anak yang dikandungnya ketika banjir bandang menerjang desa kami.
“Bapak
dari desa Kemuning?” tanyanya bernada kaget.
“Betul,
Dok,” jawabku sambil berusaha menyembunyikan sedih yang menguasai emosiku.
Dokter
itu meminta KTP-ku. Setelah kuserahkan, dibacanya lama sekali. Lalu dia membuka
computer yang berada di pojok ruangan
itu, entah apa yang dilakukan, aku tidak paham. Aku hanya melihatnya
mondar-mandir sambil menelepon seseorang. Rona wajahnya pun terlhat berubah. Entahlah, apa yang sedang berkecamuk di pikirannya.
“Bapak
tidak usah sedih, karena anak Bapak tidak ikut meninggal dalam peristiwa banjir
berpuluh tahun yang lalu. Istri Bapak ditemukan menghembuskan nafas terakhirnya
beberapa menit setelah melahirkan. Lalu bayinya ditolong dan dirawat oleh
seorang dokter dan bayi itu sekarang sudah dewasa. Sayalah bayi yang selamat
dari maut itu, Pak,” ucap dokter tampan yang usianya tidak lebih dari tiga
puluh lima tahun itu seraya memelukku erat-erat.
Bondowoso, 17 Juni 2022
Bahagianya bertemu dengan ayah yg sudah puluhan tahun berpisah. Sukses sll Bund cantik👍👍👍🥰
BalasHapusTrima kasih ya...
Hapus