Selasa, 28 Juni 2022

Tembang di Kaki Bukit Part 101





Tembang di Kaki Bukit

Part 101

                                                                Oleh: Khatijah

            Aku memandang dua wanita yang berjalan tergesa menuju pintu rumah ini. Keduanya menyeramkan. Sangat kontradiktif dengan wajahnya yang halus mengkilat serupa pualam. Yang satu matanya bulat dan alisnya tebal tertata rapi. Meski usia tingginya tidak berbohong, namun karena perawatan yang dilakukan secara ekstra membuat dia masih seperti usia tiga puluh lima tahun. Itu yang terkesan pada wajah Bu Kades. Bodinya lumayan tinggi. Namun, lemak di perut dan sekitarnya membuat pemandangan jauh berbeda dengan wanita berambut lurus yang berjalan di sampingnya. Perempuan dengan baju hamil itu lebih bening. Warna baju putih tulang dengan aksen renda di bagian dada menambah keanggunan yang dia miliki. Posturnya kurang lebih sama dengan Bu Kades. Wajahnya bulat telur. Putih bersemu merah. Bibir mungilnya dipoles dengan lipstick warna orange muda. Jalannya tampak terseok karena menanggung berat di perutnya. Sesekali dia memegang pinggangnya dan mengharuskan Bu Kades menghentikan langkah untuk menunggu.

            Aku sengaja memandangi sepuas hati dari jendela kaca yang tidak terbuka. Dalam hati aku menyayangkan dua wajah cantik itu yang beraurakan kebencian. Apalagi wanita tinggi besar yang menggandeng perempuan muda dengan perut besar itu. Bibirnya terkatup rapat. Keningnya berkerut. Kedua alisnya nyaris saling bertemu. Pandangan matanya tajam seolah tidak menyimpan kesabaran di hatinya.

            Berbeda dengan laki-laki yang tadi bertugas menyetir mobil. Dia tidak mengikuti langkah dua wanita itu. Langkahnya berbelok menuju pohon beringin besar yang berada di samping kiri halaman. Dia memilih duduk bersantai sambil mengepulkan asap rokok. Tak tampak ada yang aneh dari ekspresi wajahnya. Dia datar-datar saja.

            Aku enggan membukakan pintu. Meski aku tidak takut. Ada kekuatan yang tidak kutahu datangnya. Kalau dulu aku gusar melihat Bu Kades dengan aroma kebenciannya, kali ini hatiku lebih tenang. Aku merasa punya senjata atas keberadaanku di sini: ibu. Selain itu, Bu Marni sebagai saksi atas hak ibu dalam kepemilikan rumah ini, membuat aku tak gentar menghadapi mereka.

             Setelah berulang-ulang pintu diketuk keras-keras, aku berlari menemui Bu Marni di belakang. Bu Marni masih mencuci mangkuk dan alat makan yang baru saja digunakan oleh ibu.

            “Ada apa Mbak? Siapa yang datang? Bapak kan?” tanyanya dengan kening berkerut.

Kupastikan dia tidak menyangka akan kehadiran dua tamu istimewa yang menganggap dirinya sebagai pemilik rumah itu. Dia memandangku lekat. Lalu tangannya meletakkan alat makan yang sudah bersih di rak piring yang berada di sampingnya.

            “Bu, teryata bukan ayah yang datang,” sahutku dengan suara lirih. “Mau apa ya istri ayah dan menantunya itu?”

            Bu Marni menegakkan punggunggnya. Tanpa menjawab, dia berlari menuju tempat ibuku di ruang tengah. Dituntunnya tangan ibu. Entah kalimat apa yang dibisikkan sehingga ibu tidak menolak untuk diajak masuk ke dalam kamar. Aku segera mengikuti dari belakang. Bu Marni juga melarangku keluar.

            “Mbak Seruni, jaga Ibu di sini, ya!” pintanya sambil memutar tubuhnya dan mengintip lewat jendela.

            Sekuat apa pun, aku tetap gugup. Kali ini, kesehatan ibu yang kukhawatirkan. Aku takut kedatangan dua wanita itu akan menggoyahkan pikirannya yang sudah semakin baik. Sebab aku mencium aroma dendam dan kebencian Bu Kades yang saat ini masih menggedor-gedor pintu.

            “Mbak Seruni, gimana ya? Apakah mereka perlu dibukakan pintu?” tanya Bu Marni dengan wajah penuh kebingungan. ”Sebaiknya Mbak Seruni cepat-cepat menelepon Pak Kades! Minta pertolongan kepadanya. Hanya itu jalan yang bisa kita lakukan, Mbak,” usulnya membuka pikiranku.

            Cepat-cepat kuambil ponsel yang tergeletak di meja, kucari nomor ayah dan aku pun memanggilnya berulang-ulang. Namun, ayah tidak menyahut. Maka satu-satunya jalan kutinggalkan pesan di nomor WA-nya.

            “Bu Marni. Buka dong pintunya!” Terdengar suara teriakan Bu Kades menggoncangkan nyaliku.

            Bu Marni berjalan kesana kemari. Wajahnya menegang. Bibirnya memutih pucat. Keringat di punggungnya menembus kebaya berbahan katun yang dipakainya. Bunyi gedoran pintu semakin kencang. Teriakan semakin keras. Terdengar kakinya melangkah mendekati jendela kamar. Ibu memandang lekat di daun jendela yang terus bergetar.

            “Gimana ini Mbak? Pak Kades belum nyambung?” tanya Bu Marni gusar. 

            Aku memutuskan diri. Tak adil rasanya kalau Bu Marni yang harus menghadapi wanita itu. Dengan segenap tekat membaja aku melangkah cepat menuju pintu depan.

            Bondowoso, 27 Juni 2022

           

 

           

 

 

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tembang di Kaki Bukit Part 102

  Foto: Koleksi Pribadi Tembang di Kaki Bukit Part 102                                                                 Oleh: Khatijah ...