Jumat, 01 Juli 2022

Tembang di Kaki Bukit Part 102

 

Foto: Koleksi Pribadi



Tembang di Kaki Bukit

Part 102

                                                                Oleh: Khatijah

            Aku menarik napas panjang sebelum memutar kunci pintu. Merapal doa agar mendapat perlindungan dari-Nya. Jika memang orang yang berada di luar sana akan berbuat jahat, aku berdoa semoga tidak berpengaruh buruk pada kesehatan ibuku yang sudah membaik. Aku mengerahkan seluruh keberanian. Perlahan pintu kubuka. Tanpa permisi, dua wanita yang sudah berada di depan mata itu, langsung menghambur ke dalam rumah. Rupanya dia tidak fokus saat melangkahkan kakinya masuk. Emosi dan napsu sudah memuncak di ubun-ubunnya. Utamanya yang terjadi pada diri Bu Kades. Itu bisa kusaksikan langsung dengan indra penglihatanku. Matanya yang merah dan napasnya ngos-ngosan. Entahlah, apa yang menyebabkan seperti itu. Mungkin saja dia mendengar bahwa aku dan ibuku berada di rumah ini.  

            Sofa warna biru tua yang sudah tidak baru lagi di ruang tamu, menjadi tempat untuk menghempaskan tubuh wanita yang tampak penuh amarah itu. Sedangkan sisa di sebelahnya diduduki oleh sang menantu yang roman wajahnya nyaris sama. Baru setelah beberapa saat duduk di sofa, mata Bu Kades terbelalak melihatku. Pandangannya menguliti seluruh tubuhku. Tak ubahnya sang menantu yang menyandarkan tubuhnya dengan napas naik turun. Tak henti tangan kanannya mengelus perutnya, matanya memandangku dengan pandangan tidak suka.

            “Owh, jadi bener kamu ada di sini?” Kalimat tanya yang sebenarnya tak perlu jawaban itu, terdengar sinis.

            Nada ucapannya merobek gendang telingaku. Namun, aku tidak merunduk seperti yang kulakukan di waktu-waktu yang lalu saat berhadapan dengannya. Kutegakkan tubuhku dan kuangkat daguku. Kubalas dia dengan pandangan yang tidak kalah tajam. Mulutku tetap bungkam. Sengaja menunggu kalimat lanjutan darinya.

            “Kamu, ini gak punya malu ya. Enak-enakan menikmati rumah ini. Apakah kamu tidak sadar kalau Abimanyu sudah menikah dan sebentar lagi anaknya akan lahir. Lihat, ini istri Abimanyu yang akan menjadi ibu dari cucu tersayangku!”

            “Ibu tahu dari mana kalau saya berada di rumah ini?” tanyaku sengaja mengorek orang yang telah mengusik ketenanganku dan ibuku.  

            Dia tidak menjawab. Pandangan matanya semakin keruh. Congkak dan sombong terekspresi dari kedua bola matanya.

            “Itu tidak penting. Yang jelas orang yang memberi tahu itu sangat prihatin melihat tingkahmu. Kamu kan punya kamar kos. Kenapa tidak menempat di sana saja. Lagi pula rumah ini bukan untuk menampung orang-orang tak berguna. Rumah ini nanti akan jadi tempat Thalia setelah bayinya lahir.”

             Bicara Bu Kades tiba-tiba menghunjam pedih. Kalau dia beralasan akan ditempati sendiri, mungkin hatiku tak sepedih ini. Namun, dia memperjuangkan Thalia. Wanita yag telah menghancurluluhkan hidupku. Melihatnya saja aku nyaris tidak sanggup, tapi kali ini dia yang akan merebut tempat ibuku yang berhak sepenuhnya akan rumah ini. Hatiku bergolak. Apakah dia belum paham bahwa rumah ini bukan rumah ayah dan bukan pula rumah dia.

            “Sekarang juga silakan keluar dari rumah ini. Bawa barang-barangmu, cepat!” hardiknya membuat aku berjingkat.

            “Aku tidak mau. Ini rumah bukan rumah siapa-siapa. Bukan rumah ayah juga bukan rumah Bu Kades. Mana bisa Bu Kades mengusir aku? Mungkin Ibu perlu tahu bahwa yang berhak atas rumah ini hanya ibuku. Ibukulah pewaris tunggal rumah ini.” Aku terpaksa berbicara berapi-api. 

            Spontan Bu Kades berdiri. Tangannya menggenggam. Giginya gemelutuk. Keringatnya mengalir di dahinya. Kalau aku tidak segera mundur beberapa langkah, mungkin kepalan tangannya sudah mendarat di wajahku.

            “Bu Kades, mohon maaf! Bukan berarti saya lancang, tapi saya akan berbicara yang sesungguhnya bahwa rumah dan pekarangan ini milik Jeng Suni Adiningrum, ibu yang telah melahirkan Mbak Seruni. Jadi menurut saya, Mbak Seruni sangat berhak menempat di rumah ini. Apalagi Jeng Suni belum sembuh total. Biarkan mereka di sini! Kalau Mbak Thalia mau menempat juga di sini, ya gak apa-apa. Di belakang masih tersisa satu kamar.” Suara Yu Suni tiba-tiba membuatku terkejut.

            “Maksud Bu Marni itu bagaimana? Sejak dulu rumah ini milik suami saya. Bukan milik orang lain.”

                                                            Bondowoso, 30 Juni 2022

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tembang di Kaki Bukit Part 102

  Foto: Koleksi Pribadi Tembang di Kaki Bukit Part 102                                                                 Oleh: Khatijah ...