Tembang di Kaki
Bukit
Part 101
Oleh: Khatijah
Aku
memandang dua wanita yang berjalan tergesa menuju pintu rumah ini. Keduanya menyeramkan.
Sangat kontradiktif dengan wajahnya yang halus mengkilat serupa pualam. Yang
satu matanya bulat dan alisnya tebal tertata rapi. Meski usia tingginya tidak
berbohong, namun karena perawatan yang dilakukan secara ekstra membuat dia
masih seperti usia tiga puluh lima tahun. Itu yang terkesan pada wajah Bu
Kades. Bodinya lumayan tinggi. Namun, lemak di perut dan sekitarnya membuat
pemandangan jauh berbeda dengan wanita berambut lurus yang berjalan di
sampingnya. Perempuan dengan baju hamil itu lebih bening. Warna baju putih
tulang dengan aksen renda di bagian dada menambah keanggunan yang dia miliki.
Posturnya kurang lebih sama dengan Bu Kades. Wajahnya bulat telur. Putih
bersemu merah. Bibir mungilnya dipoles dengan lipstick warna orange muda.
Jalannya tampak terseok karena menanggung berat di perutnya. Sesekali dia
memegang pinggangnya dan mengharuskan Bu Kades menghentikan langkah untuk
menunggu.
Aku sengaja memandangi sepuas hati
dari jendela kaca yang tidak terbuka. Dalam hati aku menyayangkan dua wajah
cantik itu yang beraurakan kebencian. Apalagi wanita tinggi besar yang
menggandeng perempuan muda dengan perut besar itu. Bibirnya terkatup rapat.
Keningnya berkerut. Kedua alisnya nyaris saling bertemu. Pandangan matanya
tajam seolah tidak menyimpan kesabaran di hatinya.
Berbeda dengan laki-laki yang tadi
bertugas menyetir mobil. Dia tidak mengikuti langkah dua wanita itu. Langkahnya
berbelok menuju pohon beringin besar yang berada di samping kiri halaman. Dia memilih
duduk bersantai sambil mengepulkan asap rokok. Tak tampak ada yang aneh dari
ekspresi wajahnya. Dia datar-datar saja.
Aku enggan membukakan pintu. Meski
aku tidak takut. Ada kekuatan yang tidak kutahu datangnya. Kalau dulu aku gusar
melihat Bu Kades dengan aroma kebenciannya, kali ini hatiku lebih tenang. Aku
merasa punya senjata atas keberadaanku di sini: ibu. Selain itu, Bu Marni sebagai
saksi atas hak ibu dalam kepemilikan rumah ini, membuat aku tak gentar
menghadapi mereka.
Setelah berulang-ulang pintu diketuk
keras-keras, aku berlari menemui Bu Marni di belakang. Bu Marni masih mencuci
mangkuk dan alat makan yang baru saja digunakan oleh ibu.
“Ada apa Mbak? Siapa yang datang?
Bapak kan?” tanyanya dengan kening berkerut.
Kupastikan
dia tidak menyangka akan kehadiran dua tamu istimewa yang menganggap dirinya
sebagai pemilik rumah itu. Dia memandangku lekat. Lalu tangannya meletakkan
alat makan yang sudah bersih di rak piring yang berada di sampingnya.
“Bu, teryata bukan ayah yang
datang,” sahutku dengan suara lirih. “Mau apa ya istri ayah dan menantunya itu?”
Bu Marni menegakkan punggunggnya. Tanpa
menjawab, dia berlari menuju tempat ibuku di ruang tengah. Dituntunnya tangan
ibu. Entah kalimat apa yang dibisikkan sehingga ibu tidak menolak untuk diajak
masuk ke dalam kamar. Aku segera mengikuti dari belakang. Bu Marni juga melarangku
keluar.
“Mbak Seruni, jaga Ibu di sini, ya!”
pintanya sambil memutar tubuhnya dan mengintip lewat jendela.
Sekuat apa pun, aku tetap gugup. Kali
ini, kesehatan ibu yang kukhawatirkan. Aku takut kedatangan dua wanita itu akan
menggoyahkan pikirannya yang sudah semakin baik. Sebab aku mencium aroma dendam
dan kebencian Bu Kades yang saat ini masih menggedor-gedor pintu.
“Mbak Seruni, gimana ya? Apakah
mereka perlu dibukakan pintu?” tanya Bu Marni dengan wajah penuh kebingungan. ”Sebaiknya
Mbak Seruni cepat-cepat menelepon Pak Kades! Minta pertolongan kepadanya. Hanya
itu jalan yang bisa kita lakukan, Mbak,” usulnya membuka pikiranku.
Cepat-cepat kuambil ponsel yang
tergeletak di meja, kucari nomor ayah dan aku pun memanggilnya berulang-ulang.
Namun, ayah tidak menyahut. Maka satu-satunya jalan kutinggalkan pesan di nomor
WA-nya.
“Bu Marni. Buka dong pintunya!”
Terdengar suara teriakan Bu Kades menggoncangkan nyaliku.
Bu Marni berjalan kesana kemari.
Wajahnya menegang. Bibirnya memutih pucat. Keringat di punggungnya menembus
kebaya berbahan katun yang dipakainya. Bunyi gedoran pintu semakin kencang. Teriakan
semakin keras. Terdengar kakinya melangkah mendekati jendela kamar. Ibu
memandang lekat di daun jendela yang terus bergetar.
“Gimana ini Mbak? Pak Kades belum
nyambung?” tanya Bu Marni gusar.
Aku memutuskan diri. Tak adil
rasanya kalau Bu Marni yang harus menghadapi wanita itu. Dengan segenap tekat
membaja aku melangkah cepat menuju pintu depan.
Bondowoso, 27 Juni 2022