Selasa, 28 Juni 2022

SELENDANG MERAH JAMBU

 


SELENDANG  MERAH  JAMBU

    Oleh; Khatijah

1.  Berselimut Duka

            Matahari mulai menyapa dengan sinarnya yang indah. Daun-daunan yang tampak menghijau hanya diam tak bergerak.  Kiranya angin masih enggan untuk bertegur sapa dengan mereka. Burung-burung kecil di dahan pohon asam jawa  yang tumbuh di pinggir  jalan itu, berloncatan ke sana ke mari, seolah-olah mereka bersuka ria  menyambut datangnya pagi. Dian duduk sendirian  di halte. Ia memandang  hiruk pikuk kendaraan yang lewat di depan matanya. Sudah hampir tiga puluh menit orang yang ditunggu-tunggu belum menampakkan batang hidungnya. Tiba-tiba sebuah sepeda motor besar berhenti di hadapannya. Pengendaranya masih menggunakan helm yang menutupi seluruh bagian atas sehingga tak bisa dikenali siapa orangnya. Dian pura-pura tidak tahu. Ia hanya membuka-buka HP-nya saja. Padahal tidak ada yang perlu dilihat atau dibaca. Itu dilakukan hanya sekadar  trik untuk menghilangkan kejenuhan karena telah lama menunggu.

            Tiba-tiba laki-laki itu membuka helmya. Ia turun dari sepedanya dan menghampiri Dian.

            Asalamualaikum, lagi menunggu siapa, Dik?” Tanyanya.

            Waalaikumsalam,” jawab Dian gugup. Ia tercengang setelah tahu bahwa orang yang berhenti di depannya  itu adalah kakak kelasnya ketika ia masih di SMA  dulu.

            “Nunggu Anggun, Kak,” jawab Dian.

            ‘Memangnya mau ke mana?” tanyanya lagi.

            “Ke rumah Nindya.  Ia sedang sakit,” jawab Dian.

            “Semoga cepat sembuh ya,” lanjut laki-laki itu.

            “Terima kasih doanya, Kak,” jawab Dian. Selesai mengucapkan kata-kata  itu, laki-laki itu berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya.  Dian hanya mengangguk. Dian jadi menyesal mengapa ia terkesan cuek. Padahal begitu baiknya sikap Indra sampai berhenti dan turun dari sepedanya hanya untuk menyapa dirinya. Sebenarnya Dian tidak bermaksud cuek. Namun,  ia benar-benar terkejut  karena tidak disangka-sangka orang yang dulu pernah ada di hatinya itu muncul dengan tiba-tiba. Ia canggung bukan kepalang. Semua yang seharusnya bisa dikatakan, seperti menanyakan kabarnya;  menanyakan  kegiatannya apa;  bahkan menanyakan mau ke mana saja tidak dilakukannya. Semua kata-kata itu seperti tidak tersedia di pikirannya. Ada penyesalan di hatinya. Ia hanya bengong menyaksikan Indra menstater motornya.           

            “Lama ya nunggunya?” tanya Anggun merasa bersalah. Dian tersentak. Ia baru sadar kalau Anggun yang ditunggu-tunggu sudah ada di depan matanya.

            “Iyalah, hampir saja aku putus asa,” kata Dian agak ketus.

            “Sorry, tadi saat mau berangkat tiba-tiba ada tamu,” kata Anggun.

            “Oke, gak masalah, untung tadi ada Kak Indra,” kata Dian.

            “Hah, Kak Indra, kakak kelas kita waktu SMA itu?” tanya Anggun terkejut.

            “Yoi,” jawab Dian sambil berusaha membonceng motor Anggun.  Mendengar penjelasan Dian tentang Indra, Anggun menjadi gundah. Ia tak segera menstater motornya. Ia jadi teringat akan selendang yang diberikan kepadanya dulu.

            “Hei, ayo!” Dian mengingatkan Anggun agar segera menjalankan motornya. Anggun terkejut dan terputuslah lamunannya. Mereka berdua pun berangkat menuju rumah Nindya yang lagi sakit. Jarak rumah Nindya dengan tempat itu, lumayan jauh. Sepanjang perjalanan mereka tidak berbicara sedikit pun. Mereka mengikuti perasaan masing-masing. Dian menjadi gagal fokus, pikirannya kembali pada saat-saat masih SMA. Demikian juga Anggun juga kepikiran akan  selendang itu.

            “Lho, sudah kelewat,” kata Dian, “Di sana rumah Nindya,”  kata Dian sambil menunjuk ke arah belakang.

            “Oh, iya,” sahut Anggun.

 

Sumber: Khatijah. Selendang Merah Jambu. CV. Cipta Media Edukasi. 2020




1 komentar:

Tembang di Kaki Bukit Part 102

  Foto: Koleksi Pribadi Tembang di Kaki Bukit Part 102                                                                 Oleh: Khatijah ...