SELENDANG MERAH JAMBU
Oleh; Khatijah
1. Berselimut Duka
Matahari
mulai menyapa dengan sinarnya yang indah. Daun-daunan yang tampak menghijau
hanya diam tak bergerak. Kiranya angin
masih enggan untuk bertegur sapa dengan mereka. Burung-burung kecil di dahan
pohon asam jawa yang tumbuh di
pinggir jalan itu, berloncatan ke sana
ke mari, seolah-olah mereka bersuka ria
menyambut datangnya pagi. Dian duduk sendirian di halte. Ia memandang hiruk pikuk kendaraan yang lewat di depan
matanya. Sudah hampir tiga puluh menit orang yang ditunggu-tunggu belum menampakkan
batang hidungnya. Tiba-tiba sebuah sepeda motor besar berhenti di hadapannya.
Pengendaranya masih menggunakan helm yang menutupi seluruh bagian atas sehingga
tak bisa dikenali siapa orangnya. Dian pura-pura tidak tahu. Ia hanya
membuka-buka HP-nya saja. Padahal tidak ada yang perlu dilihat atau dibaca. Itu
dilakukan hanya sekadar trik untuk
menghilangkan kejenuhan karena telah lama menunggu.
Tiba-tiba
laki-laki itu membuka helmya. Ia turun dari sepedanya dan menghampiri Dian.
“Asalamualaikum, lagi menunggu siapa,
Dik?” Tanyanya.
“Waalaikumsalam,” jawab Dian gugup. Ia
tercengang setelah tahu bahwa orang yang berhenti di depannya itu adalah kakak kelasnya ketika ia masih di
SMA dulu.
“Nunggu
Anggun, Kak,” jawab Dian.
‘Memangnya
mau ke mana?” tanyanya lagi.
“Ke
rumah Nindya. Ia sedang sakit,” jawab
Dian.
“Semoga
cepat sembuh ya,” lanjut laki-laki itu.
“Terima
kasih doanya, Kak,” jawab Dian. Selesai mengucapkan kata-kata itu, laki-laki itu berpamitan untuk
melanjutkan perjalanannya. Dian hanya
mengangguk. Dian jadi menyesal mengapa ia terkesan cuek. Padahal begitu baiknya
sikap Indra sampai berhenti dan turun dari sepedanya hanya untuk menyapa
dirinya. Sebenarnya Dian tidak bermaksud cuek. Namun, ia benar-benar terkejut karena tidak disangka-sangka orang yang dulu
pernah ada di hatinya itu muncul dengan tiba-tiba. Ia canggung bukan kepalang.
Semua yang seharusnya bisa dikatakan, seperti menanyakan kabarnya; menanyakan
kegiatannya apa; bahkan
menanyakan mau ke mana saja tidak dilakukannya. Semua kata-kata itu seperti
tidak tersedia di pikirannya. Ada penyesalan di hatinya. Ia hanya bengong
menyaksikan Indra menstater motornya.
“Lama
ya nunggunya?” tanya Anggun merasa bersalah. Dian tersentak. Ia baru sadar
kalau Anggun yang ditunggu-tunggu sudah ada di depan matanya.
“Iyalah,
hampir saja aku putus asa,” kata Dian agak ketus.
“Sorry,
tadi saat mau berangkat tiba-tiba ada tamu,” kata Anggun.
“Oke,
gak masalah, untung tadi ada Kak Indra,” kata Dian.
“Hah,
Kak Indra, kakak kelas kita waktu SMA itu?” tanya Anggun terkejut.
“Yoi,”
jawab Dian sambil berusaha membonceng motor Anggun. Mendengar penjelasan Dian tentang Indra,
Anggun menjadi gundah. Ia tak segera menstater motornya. Ia jadi teringat akan
selendang yang diberikan kepadanya dulu.
“Hei,
ayo!” Dian mengingatkan Anggun agar segera menjalankan motornya. Anggun
terkejut dan terputuslah lamunannya. Mereka berdua pun berangkat menuju rumah
Nindya yang lagi sakit. Jarak rumah Nindya dengan tempat itu, lumayan jauh.
Sepanjang perjalanan mereka tidak berbicara sedikit pun. Mereka mengikuti
perasaan masing-masing. Dian menjadi gagal fokus, pikirannya kembali pada saat-saat
masih SMA. Demikian juga Anggun juga kepikiran akan selendang itu.
“Lho,
sudah kelewat,” kata Dian, “Di sana rumah Nindya,” kata Dian sambil menunjuk ke arah belakang.
“Oh,
iya,” sahut Anggun.
Sumber: Khatijah. Selendang Merah
Jambu. CV. Cipta Media Edukasi. 2020
Hmm..mulai dibuat penasaran.
BalasHapus