Jumat, 01 Juli 2022

Tembang di Kaki Bukit Part 102

 

Foto: Koleksi Pribadi



Tembang di Kaki Bukit

Part 102

                                                                Oleh: Khatijah

            Aku menarik napas panjang sebelum memutar kunci pintu. Merapal doa agar mendapat perlindungan dari-Nya. Jika memang orang yang berada di luar sana akan berbuat jahat, aku berdoa semoga tidak berpengaruh buruk pada kesehatan ibuku yang sudah membaik. Aku mengerahkan seluruh keberanian. Perlahan pintu kubuka. Tanpa permisi, dua wanita yang sudah berada di depan mata itu, langsung menghambur ke dalam rumah. Rupanya dia tidak fokus saat melangkahkan kakinya masuk. Emosi dan napsu sudah memuncak di ubun-ubunnya. Utamanya yang terjadi pada diri Bu Kades. Itu bisa kusaksikan langsung dengan indra penglihatanku. Matanya yang merah dan napasnya ngos-ngosan. Entahlah, apa yang menyebabkan seperti itu. Mungkin saja dia mendengar bahwa aku dan ibuku berada di rumah ini.  

            Sofa warna biru tua yang sudah tidak baru lagi di ruang tamu, menjadi tempat untuk menghempaskan tubuh wanita yang tampak penuh amarah itu. Sedangkan sisa di sebelahnya diduduki oleh sang menantu yang roman wajahnya nyaris sama. Baru setelah beberapa saat duduk di sofa, mata Bu Kades terbelalak melihatku. Pandangannya menguliti seluruh tubuhku. Tak ubahnya sang menantu yang menyandarkan tubuhnya dengan napas naik turun. Tak henti tangan kanannya mengelus perutnya, matanya memandangku dengan pandangan tidak suka.

            “Owh, jadi bener kamu ada di sini?” Kalimat tanya yang sebenarnya tak perlu jawaban itu, terdengar sinis.

            Nada ucapannya merobek gendang telingaku. Namun, aku tidak merunduk seperti yang kulakukan di waktu-waktu yang lalu saat berhadapan dengannya. Kutegakkan tubuhku dan kuangkat daguku. Kubalas dia dengan pandangan yang tidak kalah tajam. Mulutku tetap bungkam. Sengaja menunggu kalimat lanjutan darinya.

            “Kamu, ini gak punya malu ya. Enak-enakan menikmati rumah ini. Apakah kamu tidak sadar kalau Abimanyu sudah menikah dan sebentar lagi anaknya akan lahir. Lihat, ini istri Abimanyu yang akan menjadi ibu dari cucu tersayangku!”

            “Ibu tahu dari mana kalau saya berada di rumah ini?” tanyaku sengaja mengorek orang yang telah mengusik ketenanganku dan ibuku.  

            Dia tidak menjawab. Pandangan matanya semakin keruh. Congkak dan sombong terekspresi dari kedua bola matanya.

            “Itu tidak penting. Yang jelas orang yang memberi tahu itu sangat prihatin melihat tingkahmu. Kamu kan punya kamar kos. Kenapa tidak menempat di sana saja. Lagi pula rumah ini bukan untuk menampung orang-orang tak berguna. Rumah ini nanti akan jadi tempat Thalia setelah bayinya lahir.”

             Bicara Bu Kades tiba-tiba menghunjam pedih. Kalau dia beralasan akan ditempati sendiri, mungkin hatiku tak sepedih ini. Namun, dia memperjuangkan Thalia. Wanita yag telah menghancurluluhkan hidupku. Melihatnya saja aku nyaris tidak sanggup, tapi kali ini dia yang akan merebut tempat ibuku yang berhak sepenuhnya akan rumah ini. Hatiku bergolak. Apakah dia belum paham bahwa rumah ini bukan rumah ayah dan bukan pula rumah dia.

            “Sekarang juga silakan keluar dari rumah ini. Bawa barang-barangmu, cepat!” hardiknya membuat aku berjingkat.

            “Aku tidak mau. Ini rumah bukan rumah siapa-siapa. Bukan rumah ayah juga bukan rumah Bu Kades. Mana bisa Bu Kades mengusir aku? Mungkin Ibu perlu tahu bahwa yang berhak atas rumah ini hanya ibuku. Ibukulah pewaris tunggal rumah ini.” Aku terpaksa berbicara berapi-api. 

            Spontan Bu Kades berdiri. Tangannya menggenggam. Giginya gemelutuk. Keringatnya mengalir di dahinya. Kalau aku tidak segera mundur beberapa langkah, mungkin kepalan tangannya sudah mendarat di wajahku.

            “Bu Kades, mohon maaf! Bukan berarti saya lancang, tapi saya akan berbicara yang sesungguhnya bahwa rumah dan pekarangan ini milik Jeng Suni Adiningrum, ibu yang telah melahirkan Mbak Seruni. Jadi menurut saya, Mbak Seruni sangat berhak menempat di rumah ini. Apalagi Jeng Suni belum sembuh total. Biarkan mereka di sini! Kalau Mbak Thalia mau menempat juga di sini, ya gak apa-apa. Di belakang masih tersisa satu kamar.” Suara Yu Suni tiba-tiba membuatku terkejut.

            “Maksud Bu Marni itu bagaimana? Sejak dulu rumah ini milik suami saya. Bukan milik orang lain.”

                                                            Bondowoso, 30 Juni 2022

 

 

 

 

 

 

Selasa, 28 Juni 2022

Tembang di Kaki Bukit Part 101





Tembang di Kaki Bukit

Part 101

                                                                Oleh: Khatijah

            Aku memandang dua wanita yang berjalan tergesa menuju pintu rumah ini. Keduanya menyeramkan. Sangat kontradiktif dengan wajahnya yang halus mengkilat serupa pualam. Yang satu matanya bulat dan alisnya tebal tertata rapi. Meski usia tingginya tidak berbohong, namun karena perawatan yang dilakukan secara ekstra membuat dia masih seperti usia tiga puluh lima tahun. Itu yang terkesan pada wajah Bu Kades. Bodinya lumayan tinggi. Namun, lemak di perut dan sekitarnya membuat pemandangan jauh berbeda dengan wanita berambut lurus yang berjalan di sampingnya. Perempuan dengan baju hamil itu lebih bening. Warna baju putih tulang dengan aksen renda di bagian dada menambah keanggunan yang dia miliki. Posturnya kurang lebih sama dengan Bu Kades. Wajahnya bulat telur. Putih bersemu merah. Bibir mungilnya dipoles dengan lipstick warna orange muda. Jalannya tampak terseok karena menanggung berat di perutnya. Sesekali dia memegang pinggangnya dan mengharuskan Bu Kades menghentikan langkah untuk menunggu.

            Aku sengaja memandangi sepuas hati dari jendela kaca yang tidak terbuka. Dalam hati aku menyayangkan dua wajah cantik itu yang beraurakan kebencian. Apalagi wanita tinggi besar yang menggandeng perempuan muda dengan perut besar itu. Bibirnya terkatup rapat. Keningnya berkerut. Kedua alisnya nyaris saling bertemu. Pandangan matanya tajam seolah tidak menyimpan kesabaran di hatinya.

            Berbeda dengan laki-laki yang tadi bertugas menyetir mobil. Dia tidak mengikuti langkah dua wanita itu. Langkahnya berbelok menuju pohon beringin besar yang berada di samping kiri halaman. Dia memilih duduk bersantai sambil mengepulkan asap rokok. Tak tampak ada yang aneh dari ekspresi wajahnya. Dia datar-datar saja.

            Aku enggan membukakan pintu. Meski aku tidak takut. Ada kekuatan yang tidak kutahu datangnya. Kalau dulu aku gusar melihat Bu Kades dengan aroma kebenciannya, kali ini hatiku lebih tenang. Aku merasa punya senjata atas keberadaanku di sini: ibu. Selain itu, Bu Marni sebagai saksi atas hak ibu dalam kepemilikan rumah ini, membuat aku tak gentar menghadapi mereka.

             Setelah berulang-ulang pintu diketuk keras-keras, aku berlari menemui Bu Marni di belakang. Bu Marni masih mencuci mangkuk dan alat makan yang baru saja digunakan oleh ibu.

            “Ada apa Mbak? Siapa yang datang? Bapak kan?” tanyanya dengan kening berkerut.

Kupastikan dia tidak menyangka akan kehadiran dua tamu istimewa yang menganggap dirinya sebagai pemilik rumah itu. Dia memandangku lekat. Lalu tangannya meletakkan alat makan yang sudah bersih di rak piring yang berada di sampingnya.

            “Bu, teryata bukan ayah yang datang,” sahutku dengan suara lirih. “Mau apa ya istri ayah dan menantunya itu?”

            Bu Marni menegakkan punggunggnya. Tanpa menjawab, dia berlari menuju tempat ibuku di ruang tengah. Dituntunnya tangan ibu. Entah kalimat apa yang dibisikkan sehingga ibu tidak menolak untuk diajak masuk ke dalam kamar. Aku segera mengikuti dari belakang. Bu Marni juga melarangku keluar.

            “Mbak Seruni, jaga Ibu di sini, ya!” pintanya sambil memutar tubuhnya dan mengintip lewat jendela.

            Sekuat apa pun, aku tetap gugup. Kali ini, kesehatan ibu yang kukhawatirkan. Aku takut kedatangan dua wanita itu akan menggoyahkan pikirannya yang sudah semakin baik. Sebab aku mencium aroma dendam dan kebencian Bu Kades yang saat ini masih menggedor-gedor pintu.

            “Mbak Seruni, gimana ya? Apakah mereka perlu dibukakan pintu?” tanya Bu Marni dengan wajah penuh kebingungan. ”Sebaiknya Mbak Seruni cepat-cepat menelepon Pak Kades! Minta pertolongan kepadanya. Hanya itu jalan yang bisa kita lakukan, Mbak,” usulnya membuka pikiranku.

            Cepat-cepat kuambil ponsel yang tergeletak di meja, kucari nomor ayah dan aku pun memanggilnya berulang-ulang. Namun, ayah tidak menyahut. Maka satu-satunya jalan kutinggalkan pesan di nomor WA-nya.

            “Bu Marni. Buka dong pintunya!” Terdengar suara teriakan Bu Kades menggoncangkan nyaliku.

            Bu Marni berjalan kesana kemari. Wajahnya menegang. Bibirnya memutih pucat. Keringat di punggungnya menembus kebaya berbahan katun yang dipakainya. Bunyi gedoran pintu semakin kencang. Teriakan semakin keras. Terdengar kakinya melangkah mendekati jendela kamar. Ibu memandang lekat di daun jendela yang terus bergetar.

            “Gimana ini Mbak? Pak Kades belum nyambung?” tanya Bu Marni gusar. 

            Aku memutuskan diri. Tak adil rasanya kalau Bu Marni yang harus menghadapi wanita itu. Dengan segenap tekat membaja aku melangkah cepat menuju pintu depan.

            Bondowoso, 27 Juni 2022

           

 

           

 

 

  

SELENDANG MERAH JAMBU

 


SELENDANG  MERAH  JAMBU

    Oleh; Khatijah

1.  Berselimut Duka

            Matahari mulai menyapa dengan sinarnya yang indah. Daun-daunan yang tampak menghijau hanya diam tak bergerak.  Kiranya angin masih enggan untuk bertegur sapa dengan mereka. Burung-burung kecil di dahan pohon asam jawa  yang tumbuh di pinggir  jalan itu, berloncatan ke sana ke mari, seolah-olah mereka bersuka ria  menyambut datangnya pagi. Dian duduk sendirian  di halte. Ia memandang  hiruk pikuk kendaraan yang lewat di depan matanya. Sudah hampir tiga puluh menit orang yang ditunggu-tunggu belum menampakkan batang hidungnya. Tiba-tiba sebuah sepeda motor besar berhenti di hadapannya. Pengendaranya masih menggunakan helm yang menutupi seluruh bagian atas sehingga tak bisa dikenali siapa orangnya. Dian pura-pura tidak tahu. Ia hanya membuka-buka HP-nya saja. Padahal tidak ada yang perlu dilihat atau dibaca. Itu dilakukan hanya sekadar  trik untuk menghilangkan kejenuhan karena telah lama menunggu.

            Tiba-tiba laki-laki itu membuka helmya. Ia turun dari sepedanya dan menghampiri Dian.

            Asalamualaikum, lagi menunggu siapa, Dik?” Tanyanya.

            Waalaikumsalam,” jawab Dian gugup. Ia tercengang setelah tahu bahwa orang yang berhenti di depannya  itu adalah kakak kelasnya ketika ia masih di SMA  dulu.

            “Nunggu Anggun, Kak,” jawab Dian.

            ‘Memangnya mau ke mana?” tanyanya lagi.

            “Ke rumah Nindya.  Ia sedang sakit,” jawab Dian.

            “Semoga cepat sembuh ya,” lanjut laki-laki itu.

            “Terima kasih doanya, Kak,” jawab Dian. Selesai mengucapkan kata-kata  itu, laki-laki itu berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya.  Dian hanya mengangguk. Dian jadi menyesal mengapa ia terkesan cuek. Padahal begitu baiknya sikap Indra sampai berhenti dan turun dari sepedanya hanya untuk menyapa dirinya. Sebenarnya Dian tidak bermaksud cuek. Namun,  ia benar-benar terkejut  karena tidak disangka-sangka orang yang dulu pernah ada di hatinya itu muncul dengan tiba-tiba. Ia canggung bukan kepalang. Semua yang seharusnya bisa dikatakan, seperti menanyakan kabarnya;  menanyakan  kegiatannya apa;  bahkan menanyakan mau ke mana saja tidak dilakukannya. Semua kata-kata itu seperti tidak tersedia di pikirannya. Ada penyesalan di hatinya. Ia hanya bengong menyaksikan Indra menstater motornya.           

            “Lama ya nunggunya?” tanya Anggun merasa bersalah. Dian tersentak. Ia baru sadar kalau Anggun yang ditunggu-tunggu sudah ada di depan matanya.

            “Iyalah, hampir saja aku putus asa,” kata Dian agak ketus.

            “Sorry, tadi saat mau berangkat tiba-tiba ada tamu,” kata Anggun.

            “Oke, gak masalah, untung tadi ada Kak Indra,” kata Dian.

            “Hah, Kak Indra, kakak kelas kita waktu SMA itu?” tanya Anggun terkejut.

            “Yoi,” jawab Dian sambil berusaha membonceng motor Anggun.  Mendengar penjelasan Dian tentang Indra, Anggun menjadi gundah. Ia tak segera menstater motornya. Ia jadi teringat akan selendang yang diberikan kepadanya dulu.

            “Hei, ayo!” Dian mengingatkan Anggun agar segera menjalankan motornya. Anggun terkejut dan terputuslah lamunannya. Mereka berdua pun berangkat menuju rumah Nindya yang lagi sakit. Jarak rumah Nindya dengan tempat itu, lumayan jauh. Sepanjang perjalanan mereka tidak berbicara sedikit pun. Mereka mengikuti perasaan masing-masing. Dian menjadi gagal fokus, pikirannya kembali pada saat-saat masih SMA. Demikian juga Anggun juga kepikiran akan  selendang itu.

            “Lho, sudah kelewat,” kata Dian, “Di sana rumah Nindya,”  kata Dian sambil menunjuk ke arah belakang.

            “Oh, iya,” sahut Anggun.

 

Sumber: Khatijah. Selendang Merah Jambu. CV. Cipta Media Edukasi. 2020




Minggu, 19 Juni 2022


 

Contoh

PIDATO SAMBUTAN KETUA PANITIA PELEPASAN KELAS 9 DAN  PENTAS SENI

Oleh: Khatijah

 

Asalamu alaikum warohmatulohiwabarokatuh,

Yang terhormat Bapak …., Kepala SMPN , yang saya  hormati Bapak …. Ketua Komote SMPN , Ibu Bapak Guru wali siswa kelas 9, dan hadirin yang berbahagia.

Puji syukur senantiasa kita sampaikan ke hadirat Allah Subhanawataala, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga pada malam hari ini kita dapat bertemu di tempat ini untuk  mengikuti  acara Pelepasan Kelas 9 dalam Pentas Seni.

        Shalawat serta salam kita curahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga dan sahabatnya.

Bapak Ibu, serta hadirin yang saya hormati, sungguh merupakan suatu kebahagian yang tak terhingga karena  pada malam hari ini Bapak Ibu, serta hadirin berkenan memenuhi undangan kami untuk menghadiri acara ini.

Saya sebagai ketua panitia mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kepala Sekolah, Bapak Ibu Guru dan karyawan, serta kepada segenap wali murid yang sudah dengan ikhlas berusaha mewujudkan terselenggaranya malam pelepasan kelas 9 yang dikemas dalam bentuk pentas seni ini.

Acara ini diselenggarakan sebagai penghargaan kepada siswa kelas 9 yang sudah selesai menempuh pelajaran di sekolah ini. Dengan harapan siswa yang sudah lulus ini tetap memiliki komitmen untuk melanjutkan dan mengembangkan ilmu dan kebaikan-kebaikan yang sudah diperoleh selama tiga tahun di sekolah ini. Selain itu, juga diharapkan agar tetap menjaga citra baik sekolah dan menjadi semakin sukses ke depannya.

Acara ini juga diselenggarakan selain sebagai acara pelepasan kelas 9, juga bertujuan dapat menjadi energi positif siswa-siswi dalam mengembangkan kreasi dan potensi di bidang seni. Malam ini semua siswa bisa mengeksplorasi kemampuannya di bidang seni yang bisa ditampilkan di panggung megah yang sudah disiapkan oleh panitia. Tentu saja dengan jerih payah berupa latihan tanpa lelah yang sudah dilakukan beberapa hari terakhir ini di luar jam pelajaran. Penghargaan setinggi-tingginya saya sampaikan baik kepada para siswa yang sudah berlatih maupun  pelatihnya.

 Untuk itu, saya mohon kerja sama dari semua pihak agar ketertiban senantiasa terjaga demi berlangsungnya acara ini dengan baik dan lancar hingga akhir acara.

Bapak Ibu, hadirin yang berbahagia, perlu saya sampaikan bahwa acara ini dapat terselenggara berkat dukungan dana dari segenap wali murid, oleh karena itu, saya sebagai ketua panitia mengucapkan terimakasih. Semoga amal Bapak Ibu dicatat oleh Allah sebagai amal kebaikan yang banyak pahalanya.

Saya selaku ketua panitia mohon maaf apabila dalam acara ini terdapat kekurangan sehingga tidak berkenan di hati hadirin.

Selanjutnya kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh elemen yang telah mendukung acara ini. Saran dan kritik yang sifatnya membangun selalu kami harapkan demi penyempurnaan acara-acara serupa di tahun-tahun mendatang.

Demikian sambutan saya, jika ada kurang lebihnya mohon maaf, dan saya akhiri wasalamu alaikumwarohmatulahi wabarokatuh.

 

Jumat, 17 Juni 2022

SENSASI MENULIS NOVEL

 


                                                        Foto: Koleksi Pribadi

                                                    
                                                       SENSASI MENULIS NOVEL
                                                                Oleh: Khatijah

Menulis genre novel itu ada sensasinya. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya pada artikel yang berjudul ‘Menulis Novel Sebuah Tantangan’, bahwa tulisan ini tidak bermaksud menggurui. Namun, ada keinginan untuk berbagi meskipun hanya sedikit pengalaman. Barangkali yang sedikit ini bisa bermanfaat bagi pembaca. Semoga pembaca berkenan menerima tulisan ini. Semua yang tertulis di sini merupakan pengalaman pribadi menulis novel, membaca karya pengarang-pengarang hebat, dan ilmu dari para narasumber yang ilmunya menjadi bekal dalam menulis novel.

Kesukaan membaca novel dan karya fiksi lain seperti cerpen dan dongeng berpengaruh besar atas tumbuhnya keinginan untuk memiliki karya novel. Cita-cita ini sudah mengendap dalam memori sejak lama.  Bermula dari membaca novel-novel yang ada di perpustakaan sekolah. Seperti ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk’ dan ‘Merantau ke Deli’ karya HAMKA. Novel ‘Sitti Nurbaya’ karya Marah Rusli, ‘Atheis’ karya Achdiyat Karta Miharja, ‘Salah Asuhan’ karya Abdoel Moeis. Novel-novel karya Ahmad Tohari Trilogi ‘Ronggeng Dukuh Paruk’, ‘Bekisar Merah’ juga pernah saya baca. Novel-novel tersebut memiliki nilai sastra yang luar biasa. Selain itu, saya juga banyak membaca novel-novel remaja dan novel para pengarang saat ini yang saya kagumi. Tere Liye, Andrea Hirata, dan Ahmad Fuadi adalah novelis-novelis produktif yang menjadi idola dan masih banyak pengarang novel lain yang  menginspirasi. ‘Seribu Musim Merinduimu’ dan ‘Seputih Cinta Hawna’ karya Istiqomah juga saya sukai. Masih banyak novel-novel pengarang masa kini yang menjadi khasanah bacaan yang menyenangkan.

Kesukaan membaca ternyata berimplikasi dengan keinginan menulis. Benar kata para pengarang novel terkenal bahwa untuk bisa menulis novel, harus banyak membaca novel. Istiqomah, salah seorang mentor Kelas Novel dari MediaGuru pernah mengatakan bahwa untuk bisa menulis novel minimal pernah membaca sepuluh judul novel.

Di sela-sela kesibukan saya mencoba menulis novel. Keinginan itu saya barengi dengan usaha mendapatkan ilmu tentang menulis novel. Oleh karena itu, beberapa kali saya mengikuti kelas menulis yang diadakan oleh MediaGuru baik secara daring maupun luring. Selain mengikuti kelas menulis, saya juga bergabung di grup-grup menulis online di Face Book. Dari sana banyak tambahan ilmu dan yang penting memotivasi untuk bisa terus mengasah kemampuan menulis. Sikap istikamah harus dibangun oleh diri sendiri.

Ada beberapa novel yang sudah saya tulis dan sudah terbit. Novel pertama saya berjudul “Selendang Merah Jambu” dengan tebal 304 halaman. Novel kedua berjudul “Rinduku di Antara Bunga Ilalang” dengan tebal 282 halaman. Novel ketiga berjudul ‘Sejingga Rembulan’ 284 halaman, dan ‘Anyelir Merah Darah’ 348 halaman. Selain novel, dua kumpulan cerpen juga sudah terbit, ‘Sekeping Rindu’ dan ‘Puspa Indah Telaga Rindu’. Saat ini saya juga dalam proses menyelesaikan novel kelima dan keenam.

Sebuah fenomena yang terjadi di masyarakat merupakan ide yang dapat digali untuk menjadi tema sebuah novel. Fenomena itu kemudian dibawa ke dalam ranah imajinasi.

 Ada tujuan paling mendasar dalam menulis novel. Selain mencurahkan ide dalam jalinan alur, juga untuk menyampaikan kebenaran dan nilai-nilai kepada pembaca. Nilai-nilai itu di antaranya, nilai moral, agama, sosial, dan budaya. Melalui jalinan kisah yang menghibur nilai-nilai itu bisa disampaikan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI V), Novel adalah karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan  seseorang dengan orang di sekelilingnya, dengan menonjolkan watak dan sikap  setiap pelaku. Oleh karenanya, tulisan bentuk novel harus detail dalam penggambaran setting, watak tokoh, dan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh.

Unsur-unsur pembangun karya novel yang menjadi dasar pemahaman seorang penulis novel sangat penting untuk dipahami. Unsur-unsur ini akan hadir dengan sendirinya dalam cerita yang ditulis. Namun, seorang penulis novel perlu mengenal unsur pembangun novel, antara lain tema, tokoh, perwatakan tokoh, setting waktu, tempat, dan suasana, serta konflik-konflik yang akan menggerakkan alur cerita. Point of view juga menjadi hal yang perlu dipikirkan sebelum menulis novel.

Ide merupakan unsur paling utama dalam penulisan novel. Ide cerita bisa kita gali dari berbagai sumber. Bisa dari pengalaman, baik langsung maupun tidak langsung. Pengalaman langsung artinya pengalaman yang benar-benar dialaminya sendiri. Sedangkan pengalaman tidak langsung  merupakan pengalaman orang lain yang bisa kita ketahui dengan melihat, mendengar, dan merasakan. Bisa juga dari pengetahuan hasil kita membaca. Ide dasar ini yang akan kita olah dengan daya imajinasi kita. Artinya kita tidak memindahkan realita atau fakta ke dalam tulisan kita, melainkan kita harus mengolahnya terlebih dahulu.  Menulis novel sama halnya dengan memindahkan realita kehidupan ke dalam bentuk baru dengan daya kreativitas tinggi.

Membaca novel dari pengarang lain sangat bermanfaat. Dari sini kita bisa belajar bagaimana penggunaan bahasa dalam novel. Cara menyusun diskripsi dan menarasikan sesuatu. Bagaimana kita meletakkan dialog-dialog antartokoh, penggunaan tanda baca dan pemilihan kata atau diksi yang bisa menghidupkan suasana. Selain itu, kita bisa  belajar bagaimana cara pengarang menggambaran setting, membangun konflik-konflik, menggambaran tokoh dan watak tokoh.

Mempertahankan mood dalam menulis novel itu, sebuah keharusan. Kalau tidak, kita bisa berhenti di tengah jalan sebelum ceritanya mencapai ending. Caranya, sebelum menulis kita buat kerangka dasarnya terlebih dahulu. Setelah itu, saat mengembangkan kita boleh membangun konflik-konflik kecil yang berada di luar kerangka. Hal ini kita lakukan agar cerita kita menarik, tidak garing, dan tidak  terkesan monoton. Kehadiran tokoh dalam novel berfungsi untuk menggerakkan alur. Jika cerita kita macet, alurnya buntu, kita bisa menghadirkan tokoh baru. Dari sini akan terbangun konflik-konflik baru.

Demikian semoga bermanfaat.  

 

Bondowoso, 18 Juni 2022

 

 

Setetes Embun di Padang Gersang

 

    

Foto: Koleksi Pribadi

Setetes Embun di Padang Gersang

@Cermin

Oleh: Khatijah

Ada perasaan ngeri saat naik lift seorang diri. Selain tidak biasa, aku takut jika bertemu seseorang yang tidak kukenal di dalamnya. Yang kutakutkan dia bukan orang baik-baik. Seperti pagi ini, aku ragu melangkahkan kaki ke dalam ruangan kecil itu. Namun terdorong rasa sakit karena habis operasi, aku masuk saja. Maklum untuk naik ke lantai tiga melalui tangga biasa rasanya aku tidak sanggup.

Kali ini aku harus kontrol setelah seminggu diizinkan pulang dari rumah sakit. Ternyata ketakutanku bertemu penjahat di ruang lift tidak terbukti. Aku justru bertemu seorang laki-laki gagah memakai jas warna putih layaknya baju yang dipakai oleh para dokter. Usianya mungkin kurang dari  tiga puluh lima tahun. Dialah dokter yang telah mengoperasiku seminggu yang lalu karena hernia. Melihatku yang sudah berumur dan sendirian ini, tampak dia sangat berempati. Dituntunnya tanganku ketika kami bersama-sama keluar dari lift.

Lebih dari satu jam, aku menunggu antrean di ruang tunggu. Pikiranku tenggelam di antara puluhan orang yang memiliki kepentingan yang sama denganku. Aku memilih diam. Ada perasaan iri saat menyaksikan orang-orang di sekitarku diantar oleh keluarganya. Hatiku terenyuh dan sedih. Jadi teringat bencana banjir yang telah memisahkan aku dan istriku yang saat itu hamil besar. Terbayang saat tangannya melambai-lambai meminta pertolongan. Namun, aku kalah cepat dengan derasnya air bah yang menyeretnya. Sampai saat ini, aku tidak berhenti mengutuki diriku sendiri karena tidak mampu untuk menolongnya.

“Pak Hamdi,” panggil seorang wanita muda yang bertugas di depan ruang periksa, membuat pikiranku terbangun dari lamunan.  

Dengan terhuyung, aku mencoba melangkah mendekat ke arah meja petugas yang memanggilku. Setelah kuserahkan kartu pemeriksaan, aku diantar masuk oleh petugas itu untuk menemui dokter bedah yang akan membuka perban yang menutup luka bekas operasiku. Begitu ramahnya dia. Sambil melepas benang jahitan di perutku bagian bawah, dia terus menanyaiku diselingi candaan ringan.

“Sudah, Pak. Lukanya sudah kering. Pak Hamdi tinggal menjaga agar tidak infeksi dan cepat sembuh luka bagian dalam. Bapak tahu caranya? Mudah kok Pak. Bapak harus minum obatnya dan makan makanan bergizi,” katanya. 

Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih.Tiba-tiba piluku tersayat kembali saat dia menanyakan keluargaku. Dengan ragu-ragu kuceritakan keadaanku yang sebenarnya bahwa aku telah kehilangan istri dan anak yang dikandungnya ketika banjir bandang menerjang desa kami.

“Bapak dari desa Kemuning?” tanyanya bernada kaget.

“Betul, Dok,” jawabku sambil berusaha menyembunyikan sedih yang menguasai emosiku.

Dokter itu meminta KTP-ku. Setelah kuserahkan, dibacanya lama sekali. Lalu dia membuka computer yang berada di pojok  ruangan itu, entah apa yang dilakukan, aku tidak paham. Aku hanya melihatnya mondar-mandir sambil menelepon seseorang. Rona wajahnya pun terlhat berubah. Entahlah, apa yang sedang berkecamuk di pikirannya.

“Bapak tidak usah sedih, karena anak Bapak tidak ikut meninggal dalam peristiwa banjir berpuluh tahun yang lalu. Istri Bapak ditemukan menghembuskan nafas terakhirnya beberapa menit setelah melahirkan. Lalu bayinya ditolong dan dirawat oleh seorang dokter dan bayi itu sekarang sudah dewasa. Sayalah bayi yang selamat dari maut itu, Pak,” ucap dokter tampan yang usianya tidak lebih dari tiga puluh lima tahun itu seraya memelukku erat-erat.   

 

Bondowoso, 17 Juni 2022

 

 

Kamis, 16 Juni 2022

Memilih Point Of View

 



Memilih Point Of View

Oleh: Khatijah

 

Seperti unsur karya fiksi yang lain, point of view (POV) tidak bisa ditinggalkan dalam menulis pentigraf, cerpen maupun novel. Apakah point of view itu? Seperti yang dilansir oleh kumparan.com. (21 Februari 2021) bahwa pengertian sudut pandang atau point of view menurut Abrahams dalam bukunya A.Glossary of Library Term, tahun 1981, ialah sebagai berikut: Sudut pandang atau point of view, menunjuk pada cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Jadi, Point Of View (POV) merupakan sudut pandang seorang pengarang atau cara bercerita pengarang dari mana dia menetukan tokoh dalam cerita. Apakah dia memosisikan dirinya seolah-olah ikut berperan sebagai tokoh cerita atau hanya khusus menceritakan orang lain atau berada di luar jalan cerita.

Ada beberapa jenis point of view (POV) yang dapat dipilih pengarang untuk mengisahkan ceritanya.

1.    Point Of View 1 (POV 1) atau Sudut Pandang Orang Pertama

Point Of View 1 (POV 1) atau sudut pandang orang pertama digunakan dalam cerita, bila pengarang seolah-olah ikut berperan sebagai tokoh di dalam ceritanya. Sudut pandang pengarang (POV 1) ini memiliki ciri khusus yaitu dengan menggunakan tokoh “aku”. Jika tokoh “aku” menjadi pusat cerita, disebut dengan sudut pandang orang pertama (POV 1) sebagai pelaku utama. Namun, pengarang juga bisa memosisikan dirinya hanya sebagai tokoh tambahan yang disebut sebgai orang pertama pelaku tambahan atau sampingan.   

Berikut ini contoh kutipan cerita dengan POV 1.

Aku limbung. Kakiku terasa tak kuat menahan berat tubuhku.Ternyata apa yang kupikirkan tentang perasaan Bima selama ini tidak meleset. Hatinya benar-benar sakit karena mendapat perlakuan yang tak biasanya dariku. Memang benar, merasa dicuekin adalah hal yang menyakitkan. Aku sangat paham tentang hal itu. Namun, aku tidak berdaya untuk menghindarinya. Hanya getar bibirku yang menjadi jawaban atas pertanyaan Bima yang terus mendesak. Sedangkan setumpuk jawaban yang tersimpan di pikiranku tak mampu terucap.

(Sejingga Rembulan_Novel_Khatijah: halaman 163)

          Kutipan di atas diambil dari Novel yang “Sejingga Rembulan” karya: Khatijah yang diterbitkan oleh Pustaka MediaGuru pada tahun 2021. Pada kutipan di atas tokoh “aku” berperan sebagai orang pertama pelaku utama.

2.  Point Of View 2 (POV 2) atau Sudut Pandang Orang Kedua

     Berbeda dengan POV 1, POV 2 menjadikan orang kedua sebagai tokoh utama. Ciri yang menandai bahwa sebuah cerita menggunakan POV 2, tokoh yang menjadi sentral cerita menggunakan kata ganti “Kau” atau “Kamu”.

Di bawah ini contoh POV 2.

Sejak kutemukan emoji hati warna merah jambu di akun WhatsApp-mu, aku tak bisa berpikiran tenang. Hatiku terluka. Tanda tanya bermunculan di kepala. Adakah seseorang yang telah merebut hatimu? Aku hanya bisa bernapas panjang. Tak ada keberanian untuk menelisik siapa sebenarnya yang mengirim simbol cinta itu kepadamu. Kulihat profil WA itu. Aku tidak mengenalnya. Hanya senyum manis dan lesung pipit saja yang mengguncang emosiku.

Apalagi jika kulihat sikapmu yang jauh berbeda dengan biasanya. Kini kau tampak bersemangat. Senyum senantiasa mengembang. Bahkan tidak hanya itu, aku melihat perbedaan penampilanmu yang begitu mencolok. Rambutmu selalu kau sisir rapi. Baju dan celana selalu necis dengan aroma parfum bulgri aqua man romantis yang bisa membuat pikiran melayang.

 (Akankah Kugapai Cintamu_Khatijah)

Dikutip dari Buku Antologi Noe Baper 13_Eko Prasetyo dkk. Halama 156.

 

3.Point Of View 3 (POV 3)

            Cerita dengan menggunakan POV 3 atau sudut pandang orang ketiga, pengarang memosisikan dirinya di luar jalan cerita. Ciri cerita menggunakan POV 3, menggunakan tokoh “Dia/Ia”.

 

Contoh POV 3

Bunga-bunga kamboja berjatuhan  di dekat  pusara yang  tanahnya masih basah. Gundukan yang tertutup oleh taburan bunga  mawar merah putih itu,  bertuliskan nama Indra Baskoro. Sinar matahari baru saja meluruhkan embun dari daun-daun menghijau hingga tak lagi tampak menetes. Tiga gadis sebaya tampak menapaki tanah merah secara beriringan. Spoi angin menerpa kerudung mereka. Ketiganya segera duduk sambil membacakan doa-doa di depan pusara Indra Baskoro. Lama mereka berdoa dalam keheningan pagi itu.  Hanya desir angin dan kicau burung-burung murai yang menemani mereka bertiga. Sedangkan seorang laki-laki tua menunggu di pojok pemakaman itu. Mereka adalah tiga mahasiswa teman Indra yang baru saja datang subuh tadi. Baru saja mereka hendak berdiri tiba-tiba dua orang gadis sudah berada di belakang mereka. Dua gadis itu bernama Dian dan Anggun.  

(Selendang Merah Jambu_Novel_Khatijah. Halaman: 24)

Memilih point of view tertentu pasti memiliki alasan tersendiri. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Menurut pengalaman penulis, menggunakan POV 1 lebih leluasa menyampaikan rasa karena semua yang dialami tokoh dalam POV 1 seolah-olah pengarang sendiri yang mengalaminya. Walaupun sebenarnya tidak demikian. Namun, menulis dengan POV 1, harus benar-benar cermat dalam menggunakan bahasa karena pengarang tidak serba tahu terhadap apa yang dipikirkan oleh tokoh lain dalam cerita itu. Berbeda dengan POV orang ketiga yang khusus menceritakan orang lain. Meskipun pengarang berada di luar jalan cerita, pada POV 3, pengarang bisa bertindak serba tahu, bisa juga hanya sebagai pengamat saja.

 

Tembang di Kaki Bukit Part 102

  Foto: Koleksi Pribadi Tembang di Kaki Bukit Part 102                                                                 Oleh: Khatijah ...